Minggu, 07 November 2010

TARI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku yang masng-masing mempunyai ragam kebudayaan daerah yang menjadi ciri dari suku bangsa tersebut.  Kebudayaan mencakup segala atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.  Semua pola perilaku dan pola-pola berfikir masyarakat merupakan  wujud dari kebudayaan.  Kebudayaan adalah segala usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan manusia.  Salah satunya adalah kesenian yang merupakan unsur dari kebudayaan itu.  Kesenian memiliki beberapa cabang yang masing-masing mempunyai medium pokok, antara lain : Seni Sastra medium pokoknya bahasa, Seni Rupa medium pokoknya garis-ruang-warna, Seni Teater/Drama medium pokoknya akting, Seni Musik medium pokoknya bunyi atau suara dan Seni Tari medium pokoknya gerak.
Gerak merupakan media yang paling tua dari manusia, untuk menyatakan keinginan-keinginannya.  Jika kita perhatikan, bayi yang baru saja lahir, sebagai bukti bahwa ia menggerakkan beberapa anggota tubuhnya.  Gerak meruapakan unsur utama dalam tari, maka gerak-gerak yang ditampilkan mengandung maksud atau makna-mana tertentu.  Dengan demikian, tari merupakan suatu ungkapan jiwa yang mengunakan medium pokok gerak yang dapat dinikmati dengan rasa.  Rasa dalam seni memegang peranan yang sangat penting.  Mengapa? Karena baik seniman penggarap maupun penikmat/pencinta seni sama-sama menggunakan rasa dalam berkarya dan menghayati karya seni tersebut.
Manusia normal akan memiliki dan memerlukan santapan-sanatapan yang berwujud seni yang masing-masing orang akan berbeda pilihan dan kesukaannya.  Tari merupakan seni yang mendapat perhatian cukup besar dan memiliki peranan penting dala kehidupan masyarakat.  Tari adalah sebuah karya fiksi (rekaan) diciptakan berdasarkan imajinasi tertentu.  Imajinasi yang ditontonkan adalah berupa gerak yang dieksploitir untuk menyatakan segenap perikehidupan manusia dan gerak yang dipergunakan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan manusia.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1999), tari adalah sebuah susunan gerak ritmis yang indah.  Sedangkan menurut Sardono W. Kusumo, tari adalah kebiasaan yang turun-temurun dalam masyarakat.  Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah kelompok masyarakat, sifatnya sangat kompleks sekali meliputi kompleksitas kehidupan sehingga sukar sekali disisihkan dengan perincian yang tetap dan pasti.
Menurut sejarah kebudayaan manusia, tari telah ada sejak manusia ada.  Bentuknya yang paling sederhana disebut mimesis artinya tiruan alam sekitar manusia.  Tari diciptakan seorang seniman tari (koreografer) dalam masyarakat pendukungnya kemudian diwariskan turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya.  Dalam pewarisan itu, ada unsur-unsur yang dipertahankan tetapi ada juga unsur yang ditambahkan disesuaikan dengan perkembangan zaman.  Tari dalam masyarakat pendukungnya telah menjadi Folklore.  Tari sebagai karya folklore termasuk dalam Partly Verbal Folklore (Folklore Setengah Lisan).
Tari mempunyai delapan fungsi, yaitu :
1.        Sebagai sistem proyeksi diri pribadi atau kelompok masyarakat
2.        Untuk mengesahkan kebudayaan
3.        Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial (pengendali sosial)
4.        Sebagai alat pendidikan
5.        Sebagai pemberi jalan yang dibenarkan oleh masyarkat untuk mencela orang
6.        Sebagai pemrotes ketidakadila dalam masyarakat
7.        Sebagai pelarian dari himpitan hidup sehari-hari
8.        Untuk hiburan
Tari secara umum, dibagi menjadi tiga yaitu :
1.        Tari Tradisi : Bentuk gerakan yang masih asli dan diturunkan langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Biasanya tarian ini dalam bentuk upacara adat, upacara ritual dan dilakukan secara massal. Unsur yang digunakan dalam tarian ini adalah penjiwaan. (Balia, Raego, Jinja, Vunja)
2.        Tari Kreasi : Bentuk tari dengan gerak tradisional atau kedaerahaan yang telah dikembangkan sesuai fungsi dan situasinya.  Unsur yang digunakan dalam tarian ini hiburan kepariwisataan.
3.        Tari Modern :  Bentuk tari yang memegang konsep utuh, biasanya memadukan gerak tradisi dan kreasi dalam satu garapannya.  Unsur yang digunakan dalam tarian ini adalah artistik dan konseptualnya. (Tari Balet, Tari Kontemporer, Break Dance, Hip Hop and Floor Dance)
Berdasarkan fungsinya, tari dibagi menjadi tiga yaitu :
1.        Tari untuk keperluan uapacara adat :  Tarian yang dikhususkan sebagai sarana upacara adat, seperti Balia dan Raego.
2.        Tari Pergaulan : Tarian yang berfungsi sebagai sarana untuk emngungkapkan rasa gembira, misal Tari Dero.
3.        Tari Pertunjukan : Tarian yang digarap secara khusus dari pola, estetis sampai pada konsep yang dikhususnkan untuk pertunjukan indoor ataupun outdoor.
Sementara itu jika dilihat berdasarkan temanya, tari terbagi atas dua, yaitu :
1.        Tari Dramatik/Sendra Tari/Musikal : Tarian ini umumnya berbentuk drama terdapat dialog atau narator didalamnya, seperti wayang dan ludruk.
2.        Tari Non Dramatik

Tari melihat perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.  Dalam dunia penciptaan tari, arus modernisasi sudah mulai terasa di Indonesia sejak seperempat abad yang lalu (sekitar 1970-an).  Hal itu setidak-tidaknya ditandai oleh karya fenomenal Sardono W. Kusumo berjudul “Samgita Pancasona” dan juga gebrakan dari Bagong Kusuadiardjo dengan beberapa karya tarinya.  Arus perubahan ini dianggap sudah cukup mapan dan membawa pengaruh baik dalam dunia penciptaan tari di Indonesia. 
Dunia penciptaan tari Indonesia sangat bangga memiliki seorang koreogrfer-penari sehebat Sardono W. Kusumo yang telah mulai melakukan “terobosan”nya seperempat abad lalu.  Kini telah terbukti bahwa karya-karyanya dapat berdampingan secara serasi dengan berbagai tari tradisi Indonesia yang telah mapan dan cenderung stagnasi.

Modernisasi penciptaan tari di Indonesia dewasa ini yang semakin beraneka ragam bentuk dan implementasinya, semata-mata bukanlah kemasan atau hasil rekayasa terhadap puncak-puncak kebudayaan Indonesia, lebih dari itu merupakan sebuah ekspresi yang dilandasi “sikap budaya” sebagai manivestasi proses pemahaman terhadap berbagai kenyataan yang muncul diseputar para koreografer.
Terobosan tari dan arus pendobrakan yang dimulai tahun 1970-an membawa dampak bahwa tari tidak selalu bisa dikaitkan dengan tradisi setempat semata-mata.  Tari menjadi seni yang sangat berurusan dengan sejarah pribadi atau partisipasi pribadi yang senantiasa mempertanyakan kemandegan tradisi atau adat yang membatasi ruang gerak seni dan senimannya. 
Dorongan pribadi seniman untuk berintegrasi dengan perkembangan budaya tari dan perubahan sosial budaya yang melingkupinya serta membuat koreografi baru dalam berbagai ragam, corak gaya pribadi sekaligus juga menginformasikan citra budaya yang sedang berlaku.
Perkembangan tari kontemporer di Indonesia diawali oleh karya Sardono W. Kusumo berjudul “Opera Diponegoro” (1987) sebua karya kontemporer spektakuler sepanjang masa yang tak pernah berhenti di pentaskan sejak di Taman Budaya Surakarta April 1987 hingga terakhir dipentaskan di l’Opea de Paris Maret 2009 dengan lebih dari 200 kali pertunjukan dan melibatkan 150 penari-penari terbaik seluruh Indonesia.  Sejak itu, Sardono W. Kusumo berhasil menlahirkan anak-anak didik terhebat di masa mereka masing-masing sebut saja era 90-an ada Mugiono Kasido, Miroto Martinus, Fajar Satriadi, Wahyu Widayati, Eko Supriyanto dll, sementara di era 2000-an melahirkan Nungki Nurcahyani, Indah Panca, Hanny Herlina, Sri Astuti, Lena Guslina, Ni Kadek Yulia, Danang Pamungkas dll.
Sardono W. Kusuma membagi empat tahapan dalam sebuah penciptaan tari kontemporer, yaitu :
1.        Post Figurativisme, bentuk karya baru yang mencoba menawarkan pengungkapan transformasi sosial budaya serta pandangan akulturatif terhadap perubahan juga transformasi budaya.  Secara maknawi menyajikan perupaan simbolis dari peristiwa-peristiwa yang bergayut pada akar kondisi sosial budaya.
2.        Kontemplatif Supranaural, karya tari yang mencoba merambah pada nilai spritual, renungan-renungan nilai mendalam.  Perupaan artistik dan maknawainya mencoba menjelajahi perenungan melalui simbol dan media religi atau bahkan mistis.
3.        Demo Sosialisme, karya ini cenderung mengungkap ketimpangan sosial politik dan merambah pada kritik.
4.        Komposisi, karya baru yang berpijak pada penataan dan perupaan artistik.  Lebih cenderung menyajikan ekspresi penataan gerak instrumen terkaitnya, perupaan artistik dipandang sebagai pengucapan artistik.
Tari tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai elemen-elemen komposisi tari.  Komposisi Tari (Pengetahuan Koreografi) adalah pengetahua yang harus diketahui oelh seorang koreografer dari sejak menggarap gerak samapai pada pengetahuan tata cara memposisikannya pada satu pertunjukan. (Sodarsono, 2000 : 40)
Elemen-elemen komposisi tari tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Tema
Hal yang paling pertama dibuat oleh koreografer, memilih tema garapan tarinya, kemudian melakukan survei, riset ataupun penelitian sebagai penguat garapannya dan mengembangkan tema-tema tersebut dalam makna estetika tubuh para penarinya.  Kekuatan awal penari berada pada tema yang akan digarapnya sebagai tari.
2.        Gerak Tari
Gerak yang hadir pada tiap garapan merupakan gerak yang bermakna.  Setiap gerak itu mampu bercerita pada tubuh agar dapat dipahami oleh penonton. Yang menjadi sumber utama gerak tari adalah tubuh penari.  Disnilah kekuatan kedua yang hadir pada tari yaitu Estetika Tubuh.
3.        Desain Lantai
Garis-garis lantai atau titik-titik  yang dilalui oleh penari atau biasanya disebut Pola Lantai, dibagi menjadi dua ;
a)     Garis Lurus : dapat dibuat kedepan, kebelakang, kesamping atau serong.  Garis ini memberikan kesan sederhana tapi kuat.
b)     Garis Lengkung ; dapat dibuat melengkukng kemuka, kebelakang atau dalam bentuk beberapa rumusan matematika.
4.        Desain Atas
Desain ini yang bisa dilihat langsung oleh penonton, dimana kesatuan tubuh dan properti penunjang terlukis jelas pada penari tersebut.  Mulai dari gerakan kepala, leher, tangan (jari), pinggang, tungkai bawah (kaki, jari, kaki) serta properti yang menjadi keutuhan tubuh.
5.        Desain Dramatik
Hal ini dibutuhkan terutama pada tarian yang memiliki unsur dramatik didalamnya. Dengan desain dramatik diharapkan struktur dramatik mulai dari pemaparan cerita, hadirnya klimaks sampai pada penurunan suasana (kesimpulan).
6.        Musik/bunyi
Musik menjadi medium pendukung (bantu) yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah garapan tari.  Musik/bunyi yang dipergunakan untuk mengiringi tari harus digarap maksimal sesuai garapan tarinyan, baik itu dengan alat instrumen penunjang atapun bunyi tubuh dan alam.
7.        Dinamika
Kekuatan yang menjadika tari lebih menarik.  Digambarkan sebagai jiwa emosional (rasa) pada gerak.  Termasuk didalmnya terdapat pergantian tempo dari cepat-medium-lambat atau sebalaiknya
8.        Komposisi Penari
Cara penempatak penari serta gerakannya, yang dibagi menjadi tiga, yaitu :
a)     Serempak : gerakan atau pola yang dilakukan secara bersama oleh kesemua penari
b)     Berimbang : penari dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana gerakan serta pola dipisah menjadi bagian kelompok tadi.
c)      Terpecah : setiap penari memiliki pola sendiri yang berbeda satu dengan yang lain, baik itu dilakukan secara bersamaan maupun secara individual terpisah posisi

9.        Properti Penunjang
Adapaun properti penunjang dala sebuah garapan tari, yaitu :
a)     Kostum : perlu diperhatian warna, model, dan fleksibilitas serta sesuai konsep
b)     Tata Rias : menjadi unsur penunjang ekspresi tari baik tradisi, kreasi dan modern
c)      Stage :  bisa indoor (gedung, pendopo, ruang tertutp dan arena), ataupun bersifat indoor (lapangan, halaman, taman kota ataupun alam)
d)     Handprof (Perlengkapan Tari) : digunakan sesuai dengan konsep tari, seperti peding, meja, tombak, kursi, selendang, dll
ELEGI
Expo Seni Pertunjukan KAKTUS, 2009
e)     Lighting : sebagai penunjang akhir tetapi penentu dari sebuah kesuksesan tari (khususnya yang berada digedung).

Tidak ada komentar:

Follow Us